Thursday, March 10, 2016

PESATNYA HUKUM BISNIS DALAM BELANJA ONLINE

DOSEN                 : MUHAMMAD FIRDAUS
MATA KULIAH      : ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI # (SOFTSKILL)

I. PENGERTIAN HUKUM DAN HUKUM EKONOMI



1.1. Pengertian Hukum
     Hukum adalah suatu sistem aturan atau adat secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas melalui lembaga atau institusi hukum. Pengertian hukum menurut R. Soeroso adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya. 
     Hukum dalam ekonomi, hampir semua kegiatan bisnis berkaitan dengan masalah perjanjian dan perikatan yang hanya melibatkan para pihak yang terlibat, akan tetapi pasca reformasi di Indonesia saat ini, dengan semangat untuk memberikan kepastian hukum bagi para pelaku usaha/bisnis maka telah dikeluarkan beragam peraturan perundang-undangan di bidang bisnis, antara lain UU Perseroan Terbatas, UU Penanaman Modal, UU Anti Monopoli dan Persaingan Usaha, UU Perlindungan Konsumen, dan sebagainya. Peraturan Pemerintah (disingkat PP) adalah Peraturan Perundang-undangan di Indonesia yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.

1.2. Tujuan Hukum & Sumber Hukum
     Tujuan hukum tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menciptakan kedamaian antar sesama manusia di dunia. Hukum merupakan sesuatu yang sering kita dengar di kehidupan sehari-hari. Hukum bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum harus bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat ini.

     Prof Subekti, SH. yang menjelaskan bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan Negara yang pada intinya ialah: mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyat. Jadi beliau berpendapat bahwa tujuan dari hukum adalah kebahagiaan rakyat. Beliau menjelaskan bahwa hukum harus mencari keseimbangan antara berbagai kepentingan dari pihak-pihak yang bertentangan satu sama lain, untuk mendapatkan “keadilan” dan juga harus mendapatkan keseimbangan antara tuntutan keadilan dangan ketertiban dan kepastian hukum.
     Hukum bisa bersumber dari banyak hal, namun secara umum terbagi ke dalam dua bagian besar, yaitu:
  1. Sumber-sumber hukum materiil, yakni sumber-sumber hukum yang ditinjau dari berbagai sudut pandang.
  2. Sumber-sumber hukum formiil, yakni UU, kebiasaan, jurisprudensi, traktat dan doktrin. Berikut paparan tentang sumber -sumber hukum tersebut di atas, yaitu:
  • Undang-Undang
     Undang-Undang ialah suatu peraturan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat yang dikeluarkan oleh pemimpin negara. Di Indonesia, pembuat Undang-Undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat dengan mempertimbangkan usulan dari pemerintah. 
  • Kebiasaan
     Kebiasaan ialah perbuatan yang sama dan dilakukan terus-menerus sehingga menjadi hal yang dianggap patut dilakukan. Contohnya ialah adat-adat di daerah yang dilakukan turun temurun telah dianggap menjadi hukum di daerah tersebut.
  • Keputusan Hakim (jurisprudensi)
     Keputusan hakim ialah keputusan yang telah diambil oleh hakim pada masa lalu terhadap suatu perkara yang sama sehingga dijadikan keputusan para hakim pada masa-masa selanjutnya. Hakim dapat membuat keputusan sendiri dengan mempertimbangkan berbagai hal, bila perkara yang hendak diputuskan itu tidak diatur sama sekali di dalam Undang-Undang.
  • Traktat
     Traktat ialah perjanjian yang dilakukan oleh dua negara ataupun lebih. Perjanjian ini mengikat antara negara yang terlibat dalam traktat ini. Otomatis traktat ini juga mengikat warganegara-warganegara dari negara yang bersangkutan. Biasanya Traktat ini harus diratifikasi (disetujui) dulu oleh parlemen negara masing-masing.

1.3. Manfaat Hukum dari Berbagai Aspek
     Instrumen hukum yang berkaitan dengan sumber daya alam dalam sistem hukum hukum Indonesia seperti : (1) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; (2) UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan; (3) UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan; (4) UU No. 9 Tahun1985 tentang Perikanan; dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; pada dasarnya memiliki karakteristik dan kelemahan-kelemahan substansial seperti berikut:

  1. Berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam (resources use-oriented) sehingga mengabaikan kepentingan konservasi dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam, karena hukum semata-mata digunakan sebagai perangkat hukum (legal instrument) untuk mendukung pencapaian target pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan peningkatan pendapatan dan devisa negara;
  2. Berorientasi dan berpihak pada pemodal-pemodal besar (capital oriented), sehingga mengabaikan akses dan kepentingan serta mematikan potensi-potensi perekonomian masyarakat adat/lokal;
  3. Menganut ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang berpusat pada negara/pemerintah (state-based resource management), sehingga orientasi pengelolaan sumberdaya alam bercorak sentralistik;
  4. Manajemen pengelolaan sumber daya alam menggunakan pendekatan sektoral, sehingga sumber daya alam tidak dilihat sebagai sistem ekologi yang terintegrasi (ecosystem);
  5. Corak sektoral dalam kewenangan dan kelembagaan mennyebabkan tidak adanya koordinasi dan keterpaduan antar sektor dalam pengelolaan sumber daya alam; dan
  6. Tidak diakui dan dilindunginya hak-hak asasi manusia secara utuh, terutama hak-hak masyarakat adat/lokal dan kemajemukan hukum dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
1.4. Pengertian Ekonomi dan Hukum Ekonomi
     Ekonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam memilih dan menciptakan kemakmuran. Inti masalah ekonomi adalah adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan manusia yang tidak terbatas dengan alat pemuas kebutuhan yang jumlahnya terbatas. Permasalahan itu kemudian menyebabkan timbulnya kelangkaan (scarcity). Hukum ekonomi adalah suatu hubungan sebab akibat atau pertalian peristiwa ekonomi yang saling berhubungan satu dengan yang lain dalam kehidupan ekonomi sehari-hari dalam masyarakat.

Hukum ekonomi terbagi menjadi 2, yaitu:
a.) Hukum ekonomi pembangunan, yaitu seluruh peraturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara peningkatan dan pengembangan kehidupan ekonomi (misal hukum perusahaan dan hukum penanaman modal)
b.) Hukum ekonomi sosial, yaitu seluruh peraturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara pembagian hasil pembangunan ekonomi secara adil dan merata, sesuai dengan hak asasi manusia (misal, hukum perburuhan dan hukum perumahan).


II. SUBJEK DAN OBJEK HUKUM




2.1. Subjek Hukum
     Subjek hukum adalah siapa yang mempunyai hak dan cakap untuk bertindak di dalam hukum dengan kata lain siapa yang cakap menurut hukum untuk mempunyai hak. Menurut ilmu hukum, subjek hukum adalah orang dari setiap badan hukum.

  • ORANG sebagai subjek hukum dibedakan dalam 2 pengertian :
  1. NATURLIJKE PERSON, yaitu disebut orang dalam bentuk manusia.
  2. RECHTS PERSON, yang disebut orang dalam bentuk Badan Hukum atau orang yang diciptakan hukum secara fiksi :
a) Badan Hukum Publik, yang sifatnya terlihat unsur kepentingan public yang ditangani pemerintah.
b) Badan HUkum Privat, yang sifatnya terlihat unsur-unsur kepentingan individual dalam Badan Swasta.

  • MANUSIA sebagai subjek hukum
  1. Manusia sebagai pribadi sebagai subjek hukum mempunyai hak dan mampu menjalankan haknya, dan dijamin oleh hukum yang berlaku.
  2. Manusia sebagai subjek hukum diatur secara luas pada Buku I tentang Orang dalam KUHPer, Undang-undang Orang Asing, dan beberapa perundang-undangan lain.
  3. Pasal 2 KUHPer menegaskan "anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan bila kepentingan si anak menghendakinya, namun bila si anak itu mati waktu dilahirkan, dianggap ia tidak pernah ada"
  • BADAN HUKUM sebagai subjek hukum
  1. Badan hukum sebagai subjek hukum dapat bertindak sebagai manusia.
  2. Badan hukum merupakan kumpulan manusia pribadi dan mungkin pula kumpulan dari Badan Hukum yang pengaturannya sesuai dan menurut hukum yang berlaku.
  • Badan Hukum sebagai pembawa hak, dimana ia dapat melakukan sebagai pembawa hak manusia, contoh : dapat melakukan persetujuan, dapat memiliki kekayaan.
  • Perbedaan MANUSIA dan BADAB HUKUM
  1.  Badan hukum tidak dapat melakukan perkawinan.
  2. Badan Hukum tidak dapat melakukan hukuman penjara (kecuali denda)
  3. Badan Hukum bertindak dengan perantara pengurus
  • BADAN HUKUM, terdiri dari :
  1. Publik, yaitu Negara, Kotamadya, Desa
  2. Perdata, yaitu PT, Yayasan, Lembaga, Koperasi
2.1. Objek Hukum
  • Biasa disebut BENDA.
  • BENDA menurut KUHP Pasal 499 "Segala barang-barang dan hak-hak yang dapat dimiliki orang"
  • BENDA yang bersifat tidak kebendaan, hanya dapat dirasa oleh panca indera, tidak dapat dilihat dan tidak dapat direalisasikan. Contoh : Merk perusahaan, paten, ciptaan musik.
  • BENDA yang bersifat kebendaan dapat dibagi :
1. Benda berwujud, "benda ini dapat dilihat, diraba, dirasa, dengan panca indera". Terbagi menjadi :

a. Benda bergerak (benda tidak tetap)
1) Benda yang dapat dihabiskan, adalah beras, minyak, uang.
2) Benda yang tidak dapat dihabiskan, adalah mobil, perhiasan, pulpen, arloji, dll
b. Benda tidak bergerak (benda tetap), yaitu Tanah, rumah, pabrik, gedung, hak pakai, hak usaha.

2.Benda tidak berwujud, "benda ini dapat dirasakan dengan panca indera tetapi tidak dapat dilihat dan diraba, tapi bisa direalisasikan menjadi 1 kenyataan. Contoh : surat-surat berharga, wesel, cek, saham, obligasi, sertifikat.

ASPEK HUKUM DALAM ONLINE SHOPPING


     Online Shop adalah salah satu jenis bisnis yang perkembangannya cukup pesat. Sistem yang digunakan dalam bisnis ini adalah transaksi online dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Dalam hal ini, peran internet sangat mutlak dibutuhkan.
     Online shop atau yang saat ini banyak dikenal dengan sebutan toko online adalah sebuah sistem jual beli dimana antara penjual dan pembeli tidak pernah bertemu secara fisik. Barang yang dijual pun ditawarkan melalui sistem contoh gambar yang ada di toko maya. Pembeli bisa memilih aneka barang yang diinginkan, untuk kemudian melakukan pembayaran kepada penjual melalui rekening bank sesuai harga yang sudah disepakati.
   Setelah proses pembayaran diterima, barulah pemilik toko online mengirimkan barang yang dimaksud ke alamat pembeli. Dalam bisnis ini, konsep kepercayaan merupakan hal mutlak yang harus ada pada kedua belah pihak. Sebab, dengan sistem transaksi yang bersifat maya, resiko untuk terjadi penipuan pun cukup terbuka.


EASY TO SHOP, WITH ONLINE SHOPPING


     Adapun perlindungan hukum bagi konsumen belanja online, pendekatan utama pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU PK”) dan Peraturan Pemerintah znomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP PSTE”). PP PSTE sendiri merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”).


Pendekatan Hukum Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Jual Beli/Belanja secara Online

Dengan pendekatan UU PK, kasus yang Anda sampaikan tersebut dapat kami simpulkan sebagai salah satu pelanggaran terhadap hak konsumen.

Pasal 4 UU PK menyebutkan bahwa hak konsumen adalah :
  1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
  2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
  3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
  4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
  5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
  6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
  7. Hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
  9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.

Di sisi lain, kewajiban bagi pelaku usaha (dalam hal ini adalah penjual online), sesuai Pasal 7 UU PKadalah:
  1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
  2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
  3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
  5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
  6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
  7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

     Terkait dengan persoalan yang Anda tanyakan, lebih tegas lagi Pasal 8 UUPK melarang pelaku usaha untuk memperdagangkan barang/jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Berdasarkan pasal tersebut, ketidaksesuaian spesifikasi barang yang Anda terima dengan barang tertera dalam iklan/foto penawaran barang merupakan bentuk pelanggaran/larangan bagi pelaku usaha dalam memperdagangkan barang.

     Anda selaku konsumen sesuai Pasal 4 huruf h UU PK tersebut berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Sedangkan, pelaku usaha itu sendiri sesuai Pasal 7 huruf g UU PK berkewajiban memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.


Apabila pelaku usaha tidak melaksanakan kewajibannya, pelaku usaha dapat dipidana berdasarkanPasal 62 UUPK, yang berbunyi:
"Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah)."


Kontrak Elektronik dan Perlindungan Konsumen berdasarkan UU ITE dan PP PSTE

     Transaksi jual beli Anda, meskipun dilakukan secara online, berdasarkan UU ITE dan PP PSTE tetap diakui sebagai transaksi elektronik yang dapat dipertanggungjawabkan. Persetujuan Anda untuk membeli barang secara online dengan cara melakukan klik persetujuan atas transaksi merupakan bentuk tindakan penerimaan yang menyatakan persetujuan dalam kesepakatan pada transaksi elektronik. Tindakan penerimaan tersebut biasanya didahului pernyataan persetujuan atas syarat dan ketentuan jual beli secara online yang dapat kami katakan juga sebagai salah satu bentuk Kontrak Elektronik. Kontrak Elektronik menurut Pasal 47 ayat (2) PP PSTE dianggap sah apabila:

  1. Terdapat kesepakatan para pihak;
  2. Dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  3. Terdapat hal tertentu; dan
  4. Objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Kontrak Elektronik itu sendiri menurut Pasal 48 ayat (3) PP PSTE setidaknya harus memuat hal-hal sebagai berikut:
  1. Data identitas para pihak;
  2. Objek dan spesifikasi;
  3. Persyaratan Transaksi Elektronik;
  4. Harga dan biaya;
  5. Prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para pihak;
  6. Ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat mengembalikan barang dan/atau meminta penggantian produk jika terdapat cacat tersembunyi; dan
  7. Pilihan hukum penyelesaian Transaksi Elektronik.
Dengan demikian, pada transaksi elektronik yang Anda lakukan, Anda dapat menggunakan instrumen UU ITE dan/atau PP PSTE sebagai dasar hukum dalam menyelesaikan permasalahan Anda.

     Terkait dengan perlindungan konsumen, Pasal 49 ayat (1) PP PSTE menegaskan bahwa Pelaku Usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik wajib menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan. Pada ayat berikutnya lebih ditegaskan lagi bahwa Pelaku Usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang penawaran kontrak atau iklan.

Lalu, bagaimana jika barang yang Anda terima tidak sesuai dengan yang diperjanjikan?

Pasal 49 ayat (3) PP PSTE mengatur khusus tentang hal tersebut, yakni Pelaku Usaha wajib memberikan batas waktu kepada konsumen untuk mengembalikan barang yang dikirim apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat tersembunyi.

     Selain kedua ketentuan tersebut di atas, apabila ternyata barang yang Anda terima tidak sesuai dengan foto pada iklan toko online tersebut (sebagai bentuk penawaran), Anda juga dapat menggugat Pelaku Usaha (dalam hal ini adalah penjual) secara perdata dengan dalih terjadinya wanpretasi atas transaksi jual beli yang Anda lakukan dengan penjual.

Menurut Prof. R. Subekti, S.H. dalam bukunya tentang “Hukum Perjanjian”, wanprestasi adalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4 macam kondisi yaitu:

  1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
  2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
  3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
  4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

     Jika salah satu dari 4 macam kondisi tersebut terjadi, maka Anda secara perdata dapat menggugat penjual online dengan dalih terjadi wanprestasi (misalnya, barang yang Anda terima tidak sesuai dengan spesifikasi barang yang dimuat dalam display home page/web site).


Pidana Penipuan dalam Transaksi Jual Beli Secara Online

     Hal yang perlu diingat adalah bahwa jual beli secara online pada prinsipnya adalah sama dengan jual beli secara faktual pada umumnya. Hukum perlindungan konsumen terkait transaksi jual beli online pun sebagaimana kami jelaskan sebelumnya tidak berbeda dengan hukum yang berlaku dalam transaksi jual beli secara nyata. Pembedanya hanya pada penggunaan sarana internet atau sarana telekomunikasi lainnya. Akibatnya adalah dalam transaksi jual beli secara online sulit dilakukan eksekusi ataupun tindakan nyata apabila terjadi sengketa maupun tindak pidana penipuan. Sifat siber dalam transaksi secara elektronis memungkinkan setiap orang baik penjual maupun pembeli menyamarkan atau memalsukan identitas dalam setiap transaksi maupun perjanjian jual beli.

     Dalam hal pelaku usaha atau penjual ternyata menggunakan identitas palsu atau melakukan tipu muslihat dalam jual beli online tersebut, maka pelaku usaha dapat juga dipidana berdasarkan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tentang penipuan dan Pasal 28 ayat (1) UU ITEtentang menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.

Bunyi selengkapnya Pasal 378 KUHP adalah sebagai berikut:
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Bunyi selengkapnya Pasal 28 ayat (1) UU ITE adalah sebagai berikut:
“Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.”

Perbuatan sebagaimana dijelaskan di dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar (Pasal 45 ayat [2] UU ITE).

Catatan tentang Transaksi Secara Online

     Berdasarkan pengamatan dan pengalaman kami, prinsip utama transaksi secara online di Indonesia masih lebih mengedepankan aspek kepercayaan atau “trust” terhadap penjual maupun pembeli. Prinsip keamanan infrastruktur transaksi secara online seperti jaminan atas kebenaran identitas penjual/pembeli, jaminan keamanan jalur pembayaran (payment gateway), jaminan keamanan dan keandalan web site electronic commerce belum menjadi perhatian utama bagi penjual maupun pembeli, terlebih pada transaksi berskala kecil sampai medium dengan nilai nominal transaksi yang tidak terlalu besar (misalnya transaksi jual beli melalui jejaring sosial, komunitas online, toko online, maupun blog). Salah satu indikasinya adalah banyaknya laporan pengaduan tentang penipuan melalui media internet maupun media telekomunikasi lainnya yang diterima oleh kepolisian maupun penyidik Kementerian Kominfo.

     Dengan kondisi demikian, ada baiknya kita lebih selektif lagi dalam melakukan transaksi secara online dan mengedepankan aspek keamanan transaksi dan kehati-hatian sebagai pertimbangan utama dalam melakukan transaksi jual beli secara online.

Daftar Pustaka :
1. Neltje F. Katuuk, 1994, Diktat Kuliah Aspek Hukum dalam Bisnis, Universitas Gunadarma, Jakarta.
2. Prof. Abdul Kadir Muhammad, S.H., 1999, Hukum Perusahaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
3. Lasmadiarta, 2010, Sukses Bisnis Toko Online, Gramedia, Jakarta.
4. Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, 2000, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia, Jakarta.

No comments:

Post a Comment